Refleksi

Tentang Be Clean #2

Ok sampe mana sebelumnya?

Oiya ibunya sakit.

Seperti yang saya ceritakan dulu, Juli 2014 ibu mertua meninggal. Setelah kurang lebih sebulan di RS Ibnu Sina. Suami saya sedihnya luar biasa. Dalam kondisi seperti itu, suami sebenarnya sangat butuh support dan doa ibu. Tidak mudah menjalani kondisi tidak punya pekerjaan, masih merintis usaha, keuangan menipis, dan ditinggalkan Ibu untuk selamanya.

Ditambah saya masih di Surabaya saat itu. Sangat jarang bertemu suami. It was a hard time though.

***

Tidak lama setelah itu, Alhamdulillah SK Mutasi saya keluar. September 2014 pindah ke Makassar. Selama 2 bulan kami numpang di rumah kakak saya. November 2014, kami akad kredit untuk KPR rumah. Iya, riba haha. Tapi gimana dong daripada numpang terus. Tenang aja, sudah lunas kok. LOL.

Dan di rumah itulah kepusingan dimulai. Setelah pindahan, beli-beli beberapa keperluan primer untuk di rumah, saldo yg tersisa di rekening saya sisa 169ribu rupiah. Gajian masih lama. Suami saya nihil. Ada piutang tapi belum terbayar. Kalo ingat jaman itu rasanya masih nyess haha..

Di tengah segala keterbatasan dana suami mulai pelan-pelan merintis usahanya. Mendatangi satu per satu tempat laundry, menawarkan produknya yang masih newbie. Mendapati banyak penolakan. Mencoba lagi. Jika ada yang laku, uangnya segera diputar lagi untuk jadi modal.

Setiap hari suami saya keliling mengitari kota Makassar, mencari-cari laundry untuk ditawari produk. Setiap hari. Pagi sampai sore. Sore dia akan menjemput saya di kantor. Dan saya akan dengan antusias bertanya, ada berapa pelanggan hari ini? Kebanyakan pertanyaan itu tidak selalu terjawab dengan menyenangkan. Kadang suami cuman senyum, sambil bilang belum ada. Besok coba lagi.

Dari situ saya memutuskan untuk tidak lagi bertanya.

Pernah suatu malam. Suami sudah tertidur kelelahan. Saya menemukan satu buku tulis di sudut kamar. Saya buka-buka, ternyata isinya adalah daftar laundry, alamat dan nomor telepon pemiliknya. Ada ratusan daftar di situ. Berlembar-lembar. Ditulis tangan oleh suami. Mungkin dia mencatatnya setiap ia mengunjungi laundry itu untuk ditawari produk.

Saya ingat sekali, air mata saya tumpah-tumpah membaca buku itu. Sedih sekali, sampai segininya suami mencari nafkah. Saat saya ada di kantor yang ruangannya nyaman, ber-AC, duduk depan komputer. Sementara suami berpanas terik menyusuri jalan untuk mendatangi satu per satu laundry.

Waktu itu ia terbangun mendengar saya menangis. Melihat buku di tangan saya, dia menarik saya ke sampingnya, sambil berbisik ”ndak papa, memang begitu kalo mau mulai usaha” dia lanjut tertidur, sementara air mata saya belum berhenti mengalir.

***

Tuhan tidak pernah ingkar janji.

Di setiap doa-doa saya setelah sholat, saya memelas memohon kebaikan Allah melancarkan usaha suami. Bukan nominalnya yang saya harapkan, tapi semata agar ia optimis dengan bisnis ini. Agar dia yakin bahwa jalan inilah yang terbaik. Jujur, di awal usaha ini suami masih sering kepikiran untuk kembali bekerja tambang di lapangan. Ada satu dua tawaran yang datang, tapi semua lokasinya harus standby jauh. Ada yg bahkan harus di luar negeri 🙁 Saya dengan siapa dong di rumah. Saya ogah LDR-an lagi.

Terdengar egois yak? Saya tidak ridho suami kerja lapangan lagi semata karena saya tidak ingin ditinggal. Makanya saya  berdoa dengan sangat melas, supaya jalan rejeki lewat usaha ini dilancarkan. Agar suami tidak terpikir untuk mencari kerjaan lain.

(continued to the last part, part #3)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *