berbagi, Refleksi

Tentang Keledai dan Urusan dengan Tuhan

Ada sebuah kisah..

Seorang Ayah dan anaknya akan bepergian dengan mengendarai keledai. Karena sang anak yang masih kecil, Ayahnya menyuruh anaknya untuk naik di atas keledai itu, sementara ia sendiri berjalan kaki di sisinya. Sampai di sebuah pemukiman, orang2 di kampung itu mencemooh sang anak, menuduhnya sebagai anak durhaka karena membiarkan Ayahnya berjalan kaki sementara ia sendiri dengan nyaman di atas keledainya.

Menyadari kesalahannya, anaknya kemudian turun dan meminta agar sang Ayah saja yang naik di atas keledainya. Ia sendiri memilih berjalan kaki.

Tiba di kampung yang lain, orang2 kembali mencemooh.
“Tega sekali orang itu membiarkan anaknya yang masih kecil untuk berjalan kaki, sedang ia sendiri duduk di atas keledai itu dengan nyamannya” kata orang2 di kampung itu.

Sang Ayah kemudian mengajak anaknya untuk turut serta naik di atas keledainya. Mereka menungganginya bersama-sama.

Orang2 kembali berkomentar.
“Lihatlah anak beranak itu. Tidak punya rasa kasihan pada keledainya. Apa sanggup keledai itu menahan beban mereka berdua?”

Akhirnya sang Ayah dan anaknya memutuskan untuk berjalan kaki saja dan menuntun keledai milik mereka.

Apa komentar orang2 itu kemudian berhenti?

“Kau lihat dua orang gila yang sedang berjalan itu. Mereka memiliki keledai tapi memilih untuk berjalan kaki. Lantas untuk apa mereka membawa serta keledai mereka?”

…………………………

Mungkin teman2 sudah ada yg pernah membaca cerita ini. Sy sendiri pertama kali dengar dari Bapak sy. Pointnya adalah, jangan sampai kita disibukkan dengan meladeni setiap komentar2 orang di sekitar kita. Mengikuti semua komentar yang tidak akan pernah ada habisnya. Yang pada akhirnya akan membingungkan kita bagaimana bersikap.

Ada saatnya kita perlu mendengar dan melihat keadaan sekitar. Ada pula saatnya kita perlu untuk bersikap “tutup mata dan telinga”, masa bodoh dengan penilaian orang. Kita pun juga pasti tau, mana komentar dan masukan yang layak didengar dan mana yang tidak.

Atau mungkin sebaliknya. Jangan sampai kita-lah orang2 yg suka berkomentar dan mengurusi kehidupan orang lain. Merasa tau dan merasa perlu untuk berkomentar akan hal-hal yang tidak kita tau persis. Padahal belum tentu keadaan kita sama dengan orang lain. Setiap orang mengalami fase hidup yang beda-beda, yang dengan itu kita sama sekali tidak berhak untuk men-judge hidup orang lain, seberapapun kita merasa perlu untuk itu. Berhati-hatilah.

Karena pada akhirnya, semuanya adalah urusan antara kita dan Tuhan.

6 Comments

  1. ketika seseorang mengomentari kehidupan orang lain dari sudut pandangnya sebenarnya dia tidak menunjukkan bagaimana kehidupan orang yang ia komentari sebenarnya, malahan sebaliknya dia menunjukkan jati dirinya sendiri

  2. mantap bos artikelnya bagus bagus, senang baca baca di sini.Salam. 🙂

  3. sebenernya semua itu dilihat dari mana kita melihatnya, salam kenal ganbang jay ngeblog

  4. dan itulah sering sering terjadi sekarang :/

  5. Kalimat penutupnya bagus… proficiat 🙂

    *eh jadi blog pertama yang saya surf nih, setelah sekian lama nggak blogwalking*

  6. jadi nggak boleh komen di posting ini ya…

    brati cerita aja : saya juga pernah baca cerita ini….
    hiks,nggak ada yg nyerita2in ke saya #eh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *