Family, lomba, Refleksi

Ia (bukan) Orang Hebat

Ia bukan seorang yg hebat. Ia bahkan tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Tapi darinya sy belajar banyak. Tentang ketegaran, tentang menjadi kuat, tentang ketabahan, dan banyak hal tentang hidup. Yang tak ia sadari, karena sy mempelajarinya, tanpa ia pernah mengajarkannya secara khusus padaku.

Dan kali ini… ijinkan sy berkisah tentang sosok itu. Dari sedikit yg sy tau tentangnya.
Namanya Zainab.
Seorang anak yg terlahir dari keluarga yg biasa2 saja. Ia menikah di usia yg sangat muda. Mungkin karena ia tak disekolahkan oleh orang tuanya, membuat pilihan untuk menikahkannya menjadi dirasa tepat. Dengan seseorang yg tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Entahlah apa yg ada di pikirannya saat menerima perjodohan itu. Pernah sekali kutanyakan padanya, dia hanya tersenyum kecut sambil membuang pandangan ke arah lain.
Dari pernikahan itu ia dikaruniai 4 orang anak. 2 diantaranya, anak kedua dan ketiga meninggal saat masih bayi. Satunya saat berusia 7 hari, dan yg satunya lagi bahkan tak sampai sehari. Bukan ujian yg mudah bagi seorang ibu. Kehilangan dua anak dalam waktu yg tak terlalu lama.

Ujian baginya tak berhenti sampai disitu. Oleh kedua orang tuanya ia dinikahkan, dan orang tuanya pula yg memisahkan ia dan suaminya. Iya. Dia berpisah. Tepatnya dipisahkan. Selentingan kabar yg pernah kudengar, alasannya karena menurut orang tuanya, sang suami –yang hanya seorang penjahit baju- tak cukup mampu membahagiakan anaknya. Entah parameter apa yg dipakai orang tuanya dalam mengukur nilai kebahagiaan itu.
Pernah kutanyakan juga padanya, apa yg dia rasakan ketika dipaksa berpisah dengan suaminya. Tapi lagi2 ia tak pernah mau menjawabnya. Hanya saja, sy bisa membaca kepedihan itu dari pandangan matanya saat ia menceritakannya padaku.

Selesaikah ujian itu? Tidak. Lagi2 ia kehilangan anak keempatnya, yg sejak kecil memang sudah mengidap penyakit asma. Anaknya meninggal saat ia sedang tumbuh menjadi seorang gadis. Dan tinggallah ia bersama satu2nya anaknya yg masih tersisa. Anak laki2 pertamanya. Sempat kudengar pula, ketika anak gadisnya ini meninggal, ia sudah tidak menangis lagi. Tak ada air mata yg mengalir.

Kehilangan. Nyanyian kehidupan ini selalu menyertai hidupnya.
Mungkin itulah yg membuat ia menjadi sosok yg ’dingin’. Entah, apa ia masih mengenal kebahagiaan dalam hidupnya, setelah semua kehilangan yg dialaminya. Hanya, yg saya tau, telah menjadi sulit baginya untuk selalu bersikap hangat pada orang lain.

Tahun berganti.
Anak laki2 pertamanya telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Ia seorang yg cerdas. Nafsu belajarnya menggila. Tak hanya itu, seolah paham dengan kondisi keluarganya yg tak utuh, ia pun tak banyak menuntut pada sang ibu. Sejak kecil ia telah belajar mencari penghasilan sendiri, dan membiayai sendiri sekolahnya, hingga menjadi seorang sarjana. Kemudian akhirnya menjadi guru di salah satu sekolah kejuruan.

Singkat kata, ia telah mampu memberi kehidupan yg lebih baik untuk sang ibu. Terlebih ketika ia telah berkeluarga, dan memiliki anak. Tampak bahwa ia selalu berupaya membahagiakan ibunya.
Tapi sang ibu tetap bersikap dingin. Kehadiran cucu memang sedikit menceriakannya, tapi tak mengubah watak aslinya yg sudah terlanjur dingin dan keras.

Bertahun kupelajari sifatnya ini. Dalam masa itu pulalah sedikit demi sedikit kupahami mengapa ia demikian bekunya. Ya. Dalam rentang waktu itu satu demi satu kisahnya kudapatkan, dan akhirnya membawaku pada sebuah rasa… ah entah apa namanya.
Kasihan? Empati? Saya tidak tau…

Di mata orang, mungkin ia bukan seorang yang hebat. Ia seorang wanita yg gagal mempertahankan rumah tangganya, dan tak mampu membiayai sekolah anaknya. Ia bahkan tak bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Tak ada keahlian khusus yg dimilikinya. Keterampilan menjahit yg pernah didapat dari suaminya tak banyak membantu. Ia hanya bisa menjahit pakaiannya sendiri jika sobek.

Tapi bagiku ia tetap seorang yg sangat hebat. Darinya sy belajar tentang ketegaran tak bertepi. Tentang kesederhanaan. Tentang pilihan untuk tetap bertahan, sepahit apapun kenyataan itu dihadirkan dalam hidup.

Pun dengan kesehariannya. Sy selalu heran, Ia tetap setia dengan baju dan sarung batiknya yg sudah lusuh, padahal di lemarinya berjejer sarung baru yg tak ingin disentuhnya.

Perlahan ia mulai tergerus usia, dan uban sudah menghiasi kepalanya.

Suatu hari, dengan pelan ia berjalan ke arahku. Membisikkan bahwa perutnya sakit. Kuraba, Masya Allah… keras sekali. Seolah ada batu yg mengganjal di sana. Belum sempat sy berkata apa2, ia sudah terlebih dahulu wanti2 agar tak memberitahu siapapun soal sakitnya, termasuk pada anak laki2nya.

Berhari2 ’rahasia’ itu hanya menjadi milik kami berdua. Sy yg tidak bisa berbuat apa2, hanya bisa menatap panik setiap ia merasa kesakitan. Dan akhirnya sy tidak sanggup, kuyakinkan padanya bahwa ia harus diobati, dan jalan satu2nya adalah memberitahu anaknya. Ditengah rintihan menahan kesakitan itulah, akhirnya ia mengangguk lemah. Ia pun berusaha diobati dengan berbagai macam resep dokter.
Tapi mungkin fisiknya yg sudah tak sanggup bereaksi dengan berbagai bahan kimia itu. November 2001, ia menyerah kalah pada penyakit ginjalnya, setelah kurang lebih 3 bulan bertarung. Ia pergi, membawa segenap kepedihan yg sekian puluh tahun membersamainya. Meninggalkan anak laki2 kebanggaannya, dan kami –sy dan kakak2ku- keempat cucunya yg akan selalu mengenangnya.

Ya. Ini adalah sepotong kisah dari seorang perempuan yg kami sebut Nenek. Ibu dari ayah sy, yg juga telah menyusul ibunya kurang lebih 2 tahun yg lalu. Semoga Allah menjaga mereka di sana.

Bukan suatu hal yg mudah merangkai kembali cerita ini, setelah kurang lebih 10 tahun terendap. Tidak hanya karena harus mengais kenangan yg sudah lama berlalu, tapi juga karena harus bergelut dengan perasaan rindu pada mereka yg telah lebih dulu diambil-Nya.

Karena ingin turut meramaikan perhelatan yg diadakan oleh salah seorang sahabat, -yg mengadakan kontes Berbagi Kisah Sejati dan disponsori oleh denaihati.com– maka untuk mbak Anaz, here it is. Maap lama, soalnya kenangannya sudah lama sekaliyy, dan kondisi kejiwaan sedang tidak pada tempat semestinya *ups, jadi curcol :D*

anazkiakonteshijau2

34 Comments

  1. Subhanallah.. Allahu Akbar…

    Afwan, etlah membuka luka lama. Syukron jazakillah telah ikutan. Hiks… hari ini, beberapa kali menitik air mata, meski diseliti rasa gembira…

  2. Wahh sosok yang sangat patut diteladani….!! mantapph sobatt mengenai kisahhnya…

  3. kisah yang menarik bro… , salam kenal..

  4. thanks nasehatnya dicerita ini…

  5. wah perjalanan hidup yang sungguh miris tapi sungguh hebat nenek illa, bisa melaluinya dengan ketegaran dan ketabahan.

  6. nice story,, selalu ada cara untuk tetap buat kita kuat,,

  7. nais story…
    jadi inget rubik ‘oh mama…oh papa’

    😀

  8. True story. . .semoga ketegaran beliau dapat menjadikan contoh untuk kita semua generasinya.

  9. Semoga Allah menjaga mereka di sana.
    ambil hikmah dari semua

  10. sipp dah moga menang

  11. terharu, hikz… sukses buat kontesnya yah 🙂

  12. contoh yang patut di teladani dan di terapkan dalam kehidupan…bagus bgt sob…

  13. ga hebat tapi mantap tuh…..moga sukses yaw….

  14. tak kenal maka tak sayang
    masih berlakukah kata pepatah ini untuk orang yang seperti itu

  15. Cerita yang menyentuh.. bahwa setiap orang, siapapun bisa menjadi guru dalam kehidupan kita. Doa saya untuk nenekmu 🙂

  16. kisah sejati yang disampaikan dari hati lewat untaian kata penuh isi.. dapet banget mba.. very touchy.. jadi inget almarhumah mbahku juga..

  17. semoga menang illa… jadi pingin ikutan jugaaaa… 😀

  18. kisah yang sangat mengharukan…semoga menang lombanya yaaa

  19. Kisah yang tidak bisa digantikan oleh hadiah kemenangan sebuah lomba…
    Kisah berbakti pada orang tua (Ibu, Ayah, Nenek, Kakek dst…)

  20. Ujian menempa manusia menjadi tegar. Mengharukan 🙁

  21. hicks… 🙁 …

    btw tak doain lah supaya menang …

  22. sedih sekali mbak ila ceritanya… mbak penulis yah? bagus banget penuturannya, seperti fiksi…

  23. Semoga mereka tetap dalam lindungan Yang MahaKuasa.
    Pastinya kangen sama ayah dan neneknya, tetap tegar, life must go on.

  24. seorang perempuan yang penuh ketegaran….

  25. tapi semakin hebat ketika terungkap melalui paragraf2-mu yang begitu bijak. megnambil hikmah dari kisah sejati, aku suka dengan tulisan2 semacam ini.

  26. tapi semakin hebat ketika terungkap melalui paragraf2-mu yang begitu bijak. megnambil hikmah dari kisah sejati, aku suka dengan tulisan2 semacam ini. aku yakin penulisnya lebih tegar atas segala yang terjadi.

  27. kisah yang mengharu biru.. tetap semangat jalani hidup, senyum hangat untukmu dan salam kenal dariku, Ica Puspita 🙂

  28. IDA says:

    speechless…

  29. […] Lampu Mati Lantas Kamu Illa, Ia Bukan Orang Hebat Swistien Kustantyana, Untuk Cinta, kekasihku Nurudin, Buku Tulis 58 Lembar Ani Rostiani, Cinta […]

  30. selamat untuk kemenangannya…^^

  31. (worship) *wat nenek* … eh neneknya berhasil kok punya cucu kek begini …. hehehe (goodluck)

  32. speechless..

  33. […] 37. Naqiyyah Syam, Sertifikasi oh Sertifikasi 38. Yans Ahmad, Ketika Bidadari itu Pergi 39. Illa, Ia Bukan Orang Hebat 40. Brian, Gadis yang Suka Ngelantur itu Kakakku 41. Ivonie Zahra, Operasi tak Menyurutkan […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *