Curcol dulu ah :
Sebenarnya dari kemaren dah segera mo melanjutkan postingan yg sebelumnya. Yep yep… tapi lagi2 suka tidak berdamai dengan waktu dan koneksi. Kerjaan masi membludak, sampe rumah mw nulis tapi mata sangat susakh diajak kompromi. Giliran ndak ngantuk, buka lepi, eh malah ceting dan ngeplurT. Huuu… Dasar. Padahal alasan dalem hati ngonek dengan internet biar bisa sebebas2nya blogging.
Trus, kemaren2 suasana hati lumayan mendukung wat melanjutkan postingan yg sebelumnya. Tapi barusan blogwalkin, dan membaca postingan seorang teman, Saya jadi ketawa2 sendiri, dan absolutely lupa kalo sebelumnya sayah masih agak sedikit mepelopow.
Wokeh, skarang saatnya melanjutkan yg [to be continued]
Dibagian akhir saya menuliskan “Karena sekarang bukan saatnya mementingkan diri sendiri”. Yep, itu sebenarnya teguran wat diri sendiri. Beberapa hari sebelum Gempa itu, rasa Egois yg setinggi2nya sangat merajai alam pikiran sayah. Entahlah, mungkin gegara masih harus berdamai dengan kenyataan bahwa saya ada di Surabaya lagih. Hmm… ndak nyambung yah? Wokeh, memang gegara satu hal yang menyentil sisi keakuanku, hufff… Sayah masi ingat, waktu itu sempat ada pertentangan batin di diri saya, antara membenarkan sikap ini atau menganggapnya sebuah kekeliruan yg tidak boleh dipelihara. Dan sepertinya saat itu perasaan ego itu masih sangat mendominasi. Sampe saat itu sy buat pernyataan dalam diri ”mementingkan diri sendiri itu tidak sama dengan egois. Kita hanya menganggap diri kita penting. Dan memang seperti itu kan? Kita adalah orang penting, setidaknya bagi diri sendiri. Dan adalah penting juga untuk membahagiakan diri sendiri, dan melindungi diri dari hal2 yg tidak penting”. Semoga teman2 tidak bingung membacanya 😀
Terdengar agak skeptis? Mungkin. Egosentric? Sangat jelas terbaca. Argh….
Dan bencana gempa itu, selain ujian, sedikit banyak saia rasakan sebagai teguran dari-Nya. Teguran untuk sikap dan perasaan mementingkan diri sendiri-ku. Bahwa disana, ada banyak orang2 yg jauh lebih menderita. Ada banyak orang2 yg kehilangan. Dan kenyataan2 lain yg memaksa untuk mengakui bahwa keadaan saya masih jauh lebih baik dari mereka.
Begitupun setelahnya. Walopun beberapa saat sempat dipanikkan akan keadaan teman2 yg di Padang, tapi rasa itu –rasa egois itu- tidak bergeser. Allahu Rabbi, ampuni hamba…
Dan sepertinya memang saya harus selalu ditegur untuk hal ini. Seperti waktu itu. Ketika lagi2 sy merasa muak dengan keadaan sekitar. Merasa tidak mempunyai ruang untuk saya bisa bernafas lega. Kerjaan kantor, Surabaya yang panas, dan benturan2 dengan orang2 yg tidak bisa terhindarkan. Sampai di rumah pun, saya tidak bisa betul2 beristirahat. Pikiran masi kemana2. Ingin mendiamkan saja, dan membiarkan waktu jadi problem solver paling mujarab, but I can’t. Dan akhirnya insomnia mulai menyerang….
Begitulah. Sadly to say, ternyata sy masih sangat sangat selfish. Sampai suatu hari, -malam tepatnya- ketika saya terpaksa pulang ke rumah naik taksi. Adzan isya baru saja berkumandang, ketika saya meninggalkan pintu gerbang kantor. Penat. Lelah. Dan, heyy… da*n! sopir taksi ini semakin menaikkan tensiku. Saya dibawa muter kemana2, tidak melalui jalur yg biasa. Ajegile, saya sudah cukup dibuat puzink sama hal2 yg sebelumnya terjadi. Sopir ini sepertinya dikirim untuk betul2 menguji kesabaranku. Akhirnya sy memilih diam. Toh, kalo sy mw ngomel saat itu juga pasti yg keluar adalah logat makasarku, dan si sopir penguji kesabaran itu juga ndak ngerti.
Kemudian taksi itu melewati sebuah gedung tua. Dan persis di depannya traffic light sedang menyalakan sinar merahnya. Masih dengan perasaan jengkol, sy melihat2 keluar. Menyaksikan pemandangan kendaraan yg saling berebut jalan. Dan adalah kemudian pandanganku tertumbuk pada sebuah fragmen yg lagi2 menyentakkan. Seorang ibu tengah berbagi sebungkus makanan dengan dua orang anaknya. Yang satunya sudah agak besar, mmm… mungkin 4 taon, dan yg satunya lagi masih di gendongan ibunya. See? Sebuah ’teguran’ lagi bukan? Bahkan sebungkus makanan pun harus dibagi tiga oleh ibu dan anak itu, sementara semenit sebelumnya ada seorang dari dalam taksi yg masih saja menambah kepenatan dengan keluhan tak berujung.
Hhh…. dan bukan sebuah kebetulan kiranya semua skenario ini. Kerjaan yg mengharuskan pulang malam, Sopir taksi yang tidak melewati jalur semestinya, perhentian di gedung tua tepat ketika lampu merah, ibu dan dua anaknya, ahh… betapa bodohnya diri yang masih juga tidak mampu mencerna jutaan hikmah yg tersebar didalamnya.
Rasa ego, mementingkan diri sendiri, dan teguran-Nya. Berulang kali silih berganti menyapa. Sepertinya hanya ada satu cara, segera mengenyahkan rasa ini, atau sayah akan ditegur dengan cara yg lebih keras lagi. :sigh:
Temans, kalian pernah tidak merasakan seperti yg sedang sy alami?
mmm…
agak2 gak mudeng…
tp okelah… sy berusaha ngerti maksud ni postingan…
anyway tetap buka mata buka telinga juga buka hati
ganbatte…
:malam makin larut saat yg lain mulai mendengkur,sebahagiannya mulai berpesta:
demikianlah hikmah Pak Taksi yg ngajak Illa muter2
sukurlah Illa masih sabar, jd Pak Taksi-nya ndak keburu disetrum sebelum Illa ketemu dengan Ibu dengan 2 orang anaknya itu 🙂
paling sulit untuk masalah kepentingan memang 🙂
apalagi masalah kepentingan diri sendiri dan keluarga yg mana yg harus didahulukan?
duh susah bgt nntuinnya…
iLLa pake WP kan? knp ga ganti aja template yg lebih seger dilihat, tp yg ini jg bagus sih 😀
Supir taksinya cakep gak ? Kalo cakep, berarti bener Illa mesti di tegur yang lebih keras lagi..sama akuh contohnyah.Hahahahahhaha
Itulah hidup mba…- sok dewasa kali aku mode on –
Btw, link mba udah terpasang juga…makasih-makasih..
berarti Allah masih sayang sama iLLa, ngasih sentilan seperti itu biar ingat keberuntungan kita jauh lebih besar dibanding dengan ibu yang malam itu dilihat dan jutaan orang lainnya yang bernsib sama
[…] Illa yang sedang mementingkan diri sendiri […]
ya intinya kita bersyukur ajah lah, kaya lagunya de massiv :D. tuh, idola illa ada di postingan sayah 😀
maab belom sempet ganti link dikau. insya allah secepatnya. Tapi kayanya gua ga pernah nyasar tuh kemarih :p
Mengunjungi fans setia saia, kata Quinie (goodluck)…
Hmm mungkin ini saatnya untuk tidak melulu mendongak ke atas.. Berkeluh kesah dengan apa yang tidak kita miliki, mengobral amarah dengan sesuatu yang berjalan di luar kehendak kita.. karena ya itu tadi, lama kelamaan self-defense kita hilang… dan yang ada kita `baal`, hilang kepekaan akan nikmat Allah yang senantiasa tercurah tanpa kita sadari.
Saia pun masih merasakan hal yang sama seperti yang saia uraikan di atas hiks…
eummm.. koq sama banget kak haha..
aku iri sm kamu dan ismi klo nulis blog bisa sangat tersampaikan perasaannya.. ga kayak saya 😀
hampir setiap hari klo ingin merenung kita diingatkan. hehe.. yup sudah pernah mengalami yang seperti itu. jadi banyak -banyak bersyukur, – hikmah dari penjelajah jalanan-
😀
hmmmm…..
illa… belajarlah berbagi. susah, tapi selalu berakhir bahagia.
sepertiya dirimu butuh rehat dek…banyak tulisanmu yg salah ketik.salam buat trio pucang.maaf diriku belum bisa membersamai…..luv u for all…