Rasanya baru kemarin, ketika engkau selalu menanyakan tugas2ku disekolah, membantuku menyelesaikannya, pelajaran apapun itu. Dan semakin meyakinkanku bahwa engkau adalah sosok yg serba bisa. Cerdas… siapapun yg mengenalmu pasti akan mengatakan ini
Rasanya baru kemarin, ketika engkau mencium keningku, membisikkan nasehat bijak, ketika aku beranjak melanjutkan sekolah di tempat lain, terpisah darimu dan ibu. Mengatakan bahwa inilah saatnya aku harus menjadi mandiri, dewasa, untuk meraih masa depanku.
Rasanya baru kemarin, ketika kau terdengar begitu khawatir saat mendengar suaraku yg agak serak, kecapean dengan aktivitas baruku sebagai mahasiswa.
Rasanya baru kemarin kudengar suaramu yg seperti menahan tangis haru, seraya berucap lirih ”sujud syukur, Nak” ketika kukabari bahwa aku telah berhasil menyelesaikan sidang skripsiku. Menandakan purna sudah tugasmu menyekolahkan semua anak2mu.
Rasanya baru kemarin ketika engkau menabahkan hatiku saat rejeki belum berpihak kepadaku, saat kegagalan demi kegagalan menghampiri, ketika kucoba sepenuhnya terlepas dari tanggunganmu. Lagi-lagi meyakinkanku bahwa akan ada rejeki yg disimpan Tuhan, hanya untukku. Tidak akan diambil oleh yang lain. Hanya untukku, karena aku begitu istimewa. ”Tuhan hanya memintamu untuk bersabar, Nak. Hanya itu. Tunggulah… dan tetaplah berdoa”.
Rasanya baru kemarin ketika engkau tak sanggup lagi berkata-kata, saat rejeki yg dijanjikan Tuhan itu kini menghampiri. Engkau hanya mengirim pesan singkat, lagi-lagi berbunyi ”sujud syukur, Nak. Jangan terlena dengan euforia ini. Segera siapkan dirimu. Jangan lupa banyak2 bersyukur untuk semua yg telah diberikan padamu. Ayah akan selalu berharap yg terbaik untuk kamu. Selamat ya, Nak”
Saat kuingin berbagi kebahagiaan itu denganmu, engkau tak menjawab panggilanku. Belakangan kutahu, saat itu engkau telah terlebih dulu luruh di atas sajadah, terisak perlahan, menahan rasa haru yg membuncah.
Ah…
Ayah…. berjuta kata yg terangkai tak akan mampu menceritakan segala memori indah bersamamu. Petuah bijakmu layaknya oase di gurun pasir, memberikan kesegaran. Teduhnya pandangan matamu mampu membuatku menatap masa depan dengan keyakinan bahwa aku bisa. Hanya dengan pandangan itu. Engkau bahkan tak perlu banyak berkata-kata.
Ayah, engkau selalu menjadi yang pertama menjawab kecemasan ku, menghapusnya dan menggantikan nya dengan keyakinan diri yang tak terbendung. Engkau adalah sosok yang tegar, tak gentar digertak dengan kelicikan, kecurangan dan semua keadaan yang memojokkan.
Tak kuragukan cintamu pada anak-anakmu, yg dengan cinta itu kau mampu membawa kami dalam genggaman tanganmu melintasimasa demi masa tawa dan tangis kami. Engkau adalah kebijakan yang terjalin dalam kata, sikap, rasa dan laku yang indah.
Pintaku, semoga aku cukup layak untuk selalu mendoakanmu. Semoga segala kebaikan yg tercatat dariku akan terlimpah jua untukmu. Ameeen….
*di antara derai air mata, disela2 pandangan yg agak mengabur, mengenang 2 bulan kepergian Ayah tersayang….*
…bikin haru…